Pantun dan Mantera Baduy
Dalam Artikel sebelumnya telah dibahas tentang Baduy, yaitu masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Menurut sebuah cerita, masyarakat baduy mempunyai hubungan erat dengan masyarakat kampung Cisungsang yang dinyatakan dalam Bukti kesamaan adat, Kecamatan Cibeber, Banten Selatan. Selain berbagai ritual adat seperti upacara seba dan upacara seren taun (cisungsang) ternyata baduy juga memiliki Pantun atau Mantera. Adanya masyarakat baduy merupakan sebuah misteri tentang asal-usul, tidak dapat dipastikan baduy berasal dari kerajaan mana. ataukah hanya sebuah masyarakat adat biasa.
Nah Jika sobat ditilang pak polisi ini adalah mantra yang harus diucapkan, Insya Allah Anda akan bebas
"SIM SALABIM SIM SALABIM IEU SIM ABDI JADI ARTOS SARATUS REBU" Kasih deh duitnya...
Menurut bang Wiki Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
![]() |
Leuit (Lumbung Padi orang Baduy) |
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk kembangan pantun, dalam artian memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun "versi pendek" (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah "versi panjang" (enam baris atau lebih).
The Baduy (or Badui), who call themselves Kanekes, are a traditional community living in the western part of the Indonesian province of Banten, near Rangkasbitung. Their population of 11,700 is centered in the Kendeng mountains at an elevation of 300–500 meters (975'-1,625') above sea level. Their homeland in Banten, Java is contained in just 50 km2 (19 sq mi) of hilly forest area 120 km (75 mi) from Jakarta, Indonesia's capital.
Mantera atau Pantun Baduy
Bentuk-bentuk mantera sastera lisan yang terdapat di Baduy Kanekes, diantaranya Mantera, Pantun, Pikukuh, Pitutur, Susuwalan, Riwayat, Cerita Rakyat dan Legenda. Adapun bentuk yang tertua dilihat dari segi bahasa, kandungan isi dan falsafah, serta nafas, ialah Mantera. Aki Puun Djainte dari Baduy Jero Cikeusik, menuturkan bahwa mantera, jauh lebih tua dari pantun serta Sastera Bambu. Mantera terdiri dari beberapa tingkat. Tua, pertengahan dan muda. Mantera ini juga ditentukan peruntukannya, seperti halnya untuk apa mantera diucapkan, tahun berapa keberadaan dari mantera tersebut, serta bahasa yang dipergunakannya. Namun betapapun mudanya usia sesuatu Mantera, fungsinya dalam kehidupan ritual masyarakat Baduy, menempati urutan yang teratas. Hal ini sejajar dengan kedudukan serta wibawa pikukuh. "Bisina kagetrak kagetruj, mangkana kudu nyanybla ku omong" (untuk menjaga ada yang tergores, kita harus pamit terlebih dahulu). Ujar Jaro Inas tahun 1980, Dukun Pantun dari Baduy Jero Cikeusik, tentang mantera.
Berikut salah satu contoh mantera maysrakat Baduy :
Pantun Baduy:
Tingkatan mantera yang dikutip dari mantera yang dipakai dalam Pasundan Pantun Baduy tersebut, termasuk Mantera tingkat pertengahan. Berikut adalah kutipan dari Mantera yang lebih muda, diambil beberapa bait dari Mantera pada upacara Ngareremokeun (mengawinkan) Nyai Pohaci dengan Bumi. Suatu upacara yang dinamakan pula Ngaseuk. Dalam tradisi Adat sunda Wiwitan, masa Ngaseuk adalah masa Ngareremokeun padi yang diberi nama sangat indah, agung dan puitis; Nu Geulis Nyai Pohaci Sri Dangdayang Tresnawati, dengan Tanah atau Bumi yang bergelar sangat perkasa:
Pantun Baduy:
Sedang dalam Mantera mengundang kehadiran Nyai Pohaci Dangdayang Tresnawati pada acara Tari Baksa untuk memeriahkan Ngeslamkeun anak anak Baduy Kanekes, antara lain berbunyi:
Pantun Baduy:
Adapun Mantera dalam jenis tinggi berusia tua, hanya di sablakan pada upacara sakral seperti pada jarah ke Sasaka Domas atau Sasaka Mandala, satu tahun sekali. Pengsablaannya (pembacaan mantera) Hanya dilakukan oleh Girang Puun dari Tangtu Padaageung (Baduy Jero Cikeusik). Sedangkan pengsablaan mantera tua pada upacara sakral Ngalaksa dan Ngawalu tersebut, hanya dapat dilaksanakan Baris Kolot (tertua) tertentu dari Baduy Jero (Tangtu) atau Baduy Luar (Panamping). Karenanya, wajarlah jika Sastera Lisan Baduy berbentuk Mantera tersebut, hanya dikuasai oleh beberapa Baris Kolot saja. Sehingga dikawatirkan keadaan atau kelestariannya akan cenderung menghadapi kepunahan. Paling tidak ada generasi penerusnya. Bahasa yang dipergunakan Mantera yang biasa dipakai para Girang Puun, waktu Jarah atau Muja ke Sasaka Pusaka Mandala atau Sasaka Domas, ialah bahasa Sunda Kuno.
Pikukuh, adalh Hukum Adat Baduy Kanekes, yang menyumber pada keyakinan Sunda Wiwitan. Diturunkan dengan lisan turun temurun sejak kurun tahun tidak terhitung. Terjalin dalam untaian kata dan kalimat, berbentuk puisi serta prosa lirik. Seperti: Lonjor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak dapat dipotong, pendek tak dapat disambung).
Pun Sapun ka Luluhuran sakabeh Aing Menta panjang nya pangampurna! Artina Aing meta dihampura atau dalam bahasa indonesia "saya minta maaf" Rupina cukup sakieu ti sim abdi anu judulna "Pantun dan Mantera Baduy" ieu ditulis
Penulis adalah: Girang Puhu Bale Budaya Baduy Yayasan "Paku Tangtu Telu"
SASTERA LISAN BADUY
Tidak ada komentar untuk "Pantun dan Mantera Baduy"
Posting Komentar